Laman

Sabtu, 23 Juni 2012

KEJARI DIHIMBAU SELIDIKI PENGADAAN MEBULAIR SMPN 13


Bekasi, SNP
            Sejumlah orangtua siswa menghimbau Kejaksaan Negeri (Kejari) Kota Bekasi agar memeriksa Kepala SMP Negeri 13 terkait pungutan dana dari mereka (orangtua siswa baru-Red) tahun ajaran 2011-212. Himbawan itu disampaikan kerena menurut mereka pungutan yang nilainya Rp.300.000 per siswa tersebut terindikasi menjadi bancakan pihak sekolah.
            Dugaan itu kata orangtua siswa karena pengadaan mebulair sedianya menjadi kewajiban pemerintah sesuai program wajar dikdas 9 tahun. Inplementasi program wajar dikdas 9 tahu, dengan tegas dikatakan  tidak ada pungutan mulai dari tingkat sekolah dasar hingga ke sekolah lanjutan pertama, khusus sekolah negeri.
            “Berdasarkan hal tersebut, maka kebijakan sekolah SMP Negeri 13 memungut dana dari orangtua siswa jelas melanggar peraturan pemerintah. Untuk itu maka kami menghimbau Kejaksaan Negeri agar memeriksa pihak sekolah yang memnperalat komite sekolah melakukan pungutan,” tandas ortu siswa yang enggan disebut namanya.
            Seperti diberitakan sebelumnya, SMP Negeri 13 Kota Bekasi diduga kuat lakukan pungutan liar (Pungli) dengan dalih pengadaan mebulair. Pungli yang menguras kantong masing-masing orangtua siswa Rp300.000 ini bisa terjadi karena Dinas Pendidikan memberi peluang. Pasalnya, penambahan rombongan belajar (rombel) tahun ajaran 2011-2012 dari 9 rombel menjadi 11belum saatnya mengingat mebulair belum ada.
            Namun karena ruang kelas baru (RKB) 2 lokal sudah terlebih dahulu terbangun dan penerimaan siswa baru untuk tahun ajaran 2011-2012 menjadi 11 rombel, pihak sekolah dengan segala resiko terpaksa membebankan orangtua siswa Kls- VII masing-masing Rp300.000. Angka tersebut menurut catatan akan dialokasikan untuk 2 ruang kelas yang akan diisi masing-masing 44 siswa.
            Dengan penambahan ruang kelas baru 2 lokal, SMP Negeri 13 memiliki daya tampung siswa baru tahun ajaran 2011-2012 sekitar 484 siswa. Jika dikalkulasi, nilai pungli Rp300.000  dikali 484 siswa, diperoleh angka dalam rupiah sekitar Rp145.200.000 dalih mengisi mebulair untuk 2 RKB.
            Nilai tersebut tergolong tinggi jika dibandingkan nilai pagu pengadaan barang dan jasa berupa mebulair oleh Dinas Pendidikan Kota Bekasi yang hanya Rp50.100.000 untuk tahun anggaran 2011 per satu ruang kelas. Kendati harga yang ditawarkan pihak sekolah cukup tinggi, namun karena orangtua siswa tidak menguasai harga mebulair, merekapun (ortu-Red) hanya memelas dada.
            Konon katanya, tata kelola seperti ini sengaja diciptakan Dinas pendidikan Kota Bekasi, untuk member ruang kepada Kepala Sekolah untuk membuat kebijakan walau harus menabrak UU pendidikan. Padahal, Pemerintah diharapkan mampu menjaga rasa nyaman bagi dunia pendidikan minimal lewat 3 pilar.
            Pertama lingkungan harus diperhatikan, kedua SDM guru dalam segala aspek, ketiga, memelihara inprastruktur dan sarana prasarana sekolah guna rasa nyaman ajar mengajar. Ketiga pilar tersebut tentunya harus diimbangi dengan system perencanaan dan kajian serta penilaian  yang matang.
            Perencanaan misalnya, jika pemerintah merencanakan pembangunan ruang kelas baru (RKB) tapi mebulairnya tidak ada, yang timbul adalah kerugian Negara karena gedung tidak akan dapat digunakan. Contohnya SMPN 13, untuk  tahun anggaran 2010 mengusulkan sejumlah sekolah penambahan RKB dan disetujui DPRD, tapi hingga penerimaan siswa tahun ajaran 2011-2012 mebulair tidak ada.
            Mengacu terhadap system tata kelola keuangan negara, pembangunan sarana prasarana seperti ini jelas dapat menimbulkan kerugian akibat dana sudah terserap padahal RKB tersebut tidak efektif untuk digunakan karena tidak diisi dengan mebulair.
            Fenomena ini tentu merupakan cerminan kurang sinerginya perencanaan antara Dinas Pendidikan selaku kuasa pengguna anggaran pengadaan mebulair dengan Dinas P2B selaku KPA proyek fisik (bangunan).
            Dalam penggodokan APBD, pemerintah daerah seharusnya mampu menyesuaikan jumlah RKB dengan mebulair sehingga penggunaan RKB tersebut efektif.  Akibat RKB sudah terbangun namun mebulair belum ada, menjadi persoalan hingga mengusik rasa nyaman disekolah.
            Dapat dikatakan, salah satu Dinas yang memiliki rakyat adalah Dinas Pendidikan secra berkelompok dimasing-masing sekolah. Otoritas memimpin yang diberi kepada Kepala sekolah seolah diberi beban tanggung jawab agar RKB dapat digunakan walau dengan modal kebijakan membuat program swadaya orangtua siswa.
            Lewat tangan Ketua Komite sekolah, kesepakatan untuk pembiayaan pengadaan mebulair selalu tercapai walau harus mengorbankan perasaan orangtua siswa ekonomi lemah. Katakana saja kegiatan yang sudah dianggarkan dalam RAPBS (RKA) yang pembiayaannya dari dana BOS  tapi lagi-lagi jadi alasan alokasi dana swadaya orangtua siswa yang sebahagian harus terseok-seok tapi harus menyanggupi akal bulus Komite dengan Kepsek. Dampak lebih luas, pihak sekolah kemudian terganggu dengan berbagai sorotan dari elemen masyarakat, misalnya LSM, wartawan yang ingin mempertanyakan/konfirmasi system pembiayaan tersebut.
            Salah satu sekolah yang diketahui melakukan kebijakan seperti ini tidak luput dari kejaran LSM dan kuli tinta. Kepada Koran ini Wakil Kepala sekolah SMPN 13 Bidang Kesiswaan mengaku risih dengan kehadiran sebagian wartawan maupun LSM. “Terus terang, tapi maaf, saya tidak mengatakan semua, rekan-rekan perspun sudah banyak yang menanyakan masalah ini. Tapi saya pribadi tidak punya kewenangan memberi keterangan keluar birokrasi,” ujarnya.
            Salah satu bentuk akses kebijakan yang nyerempet-nyerempet masalah hukum akibat perencanaan yang nampaknya kurang sinergi di Pemkot Bekasi, hingga memberi peluang kepada Kepala sekolah berkolaborasi dengan komite menguras kantong orangtua siswa. @ MA

Tidak ada komentar:

Posting Komentar