Bekasi, SNP
Sejumlah orangtua siswa menghimbau Kejaksaan
Negeri (Kejari) Kota Bekasi agar memeriksa Kepala SMP Negeri 13 terkait pungutan
dana dari mereka (orangtua siswa baru-Red) tahun ajaran 2011-212. Himbawan itu
disampaikan kerena menurut mereka pungutan yang nilainya Rp.300.000 per siswa
tersebut terindikasi menjadi bancakan pihak sekolah.
Dugaan itu kata orangtua siswa
karena pengadaan mebulair sedianya menjadi kewajiban pemerintah sesuai program wajar
dikdas 9 tahun. Inplementasi program wajar dikdas 9 tahu, dengan tegas
dikatakan tidak ada pungutan mulai dari
tingkat sekolah dasar hingga ke sekolah lanjutan pertama, khusus sekolah
negeri.
“Berdasarkan hal tersebut, maka
kebijakan sekolah SMP Negeri 13 memungut dana dari orangtua siswa jelas
melanggar peraturan pemerintah. Untuk itu maka kami menghimbau Kejaksaan Negeri
agar memeriksa pihak sekolah yang memnperalat komite sekolah melakukan
pungutan,” tandas ortu siswa yang enggan disebut namanya.
Seperti diberitakan sebelumnya, SMP
Negeri 13 Kota Bekasi diduga kuat lakukan pungutan liar (Pungli) dengan dalih
pengadaan mebulair. Pungli yang menguras kantong masing-masing orangtua siswa
Rp300.000 ini bisa terjadi karena Dinas Pendidikan memberi peluang. Pasalnya,
penambahan rombongan belajar (rombel) tahun ajaran 2011-2012 dari 9 rombel
menjadi 11belum saatnya mengingat mebulair belum ada.
Namun karena ruang kelas baru (RKB)
2 lokal sudah terlebih dahulu terbangun dan penerimaan siswa baru untuk tahun
ajaran 2011-2012 menjadi 11 rombel, pihak sekolah dengan segala resiko terpaksa
membebankan orangtua siswa Kls- VII masing-masing Rp300.000. Angka tersebut
menurut catatan akan dialokasikan untuk 2 ruang kelas yang akan diisi
masing-masing 44 siswa.
Dengan penambahan ruang kelas baru 2
lokal, SMP Negeri 13 memiliki daya tampung siswa baru tahun ajaran 2011-2012
sekitar 484 siswa. Jika dikalkulasi, nilai pungli Rp300.000 dikali 484 siswa, diperoleh angka dalam
rupiah sekitar Rp145.200.000 dalih mengisi mebulair untuk 2 RKB.
Nilai tersebut tergolong tinggi jika
dibandingkan nilai pagu pengadaan barang dan jasa berupa mebulair oleh Dinas
Pendidikan Kota Bekasi yang hanya Rp50.100.000 untuk tahun anggaran 2011 per
satu ruang kelas. Kendati harga yang ditawarkan pihak sekolah cukup tinggi,
namun karena orangtua siswa tidak menguasai harga mebulair, merekapun
(ortu-Red) hanya memelas dada.
Konon katanya, tata kelola seperti
ini sengaja diciptakan Dinas pendidikan Kota Bekasi, untuk member ruang kepada
Kepala Sekolah untuk membuat kebijakan walau harus menabrak UU pendidikan.
Padahal, Pemerintah diharapkan mampu menjaga rasa nyaman bagi dunia pendidikan minimal
lewat 3 pilar.
Pertama lingkungan harus
diperhatikan, kedua SDM guru dalam segala aspek, ketiga, memelihara
inprastruktur dan sarana prasarana sekolah guna rasa nyaman ajar mengajar.
Ketiga pilar tersebut tentunya harus diimbangi dengan system perencanaan dan
kajian serta penilaian yang matang.
Perencanaan misalnya, jika
pemerintah merencanakan pembangunan ruang kelas baru (RKB) tapi mebulairnya
tidak ada, yang timbul adalah kerugian Negara karena gedung tidak akan dapat
digunakan. Contohnya SMPN 13, untuk
tahun anggaran 2010 mengusulkan sejumlah sekolah penambahan RKB dan
disetujui DPRD, tapi hingga penerimaan siswa tahun ajaran 2011-2012 mebulair
tidak ada.
Mengacu terhadap system tata kelola
keuangan negara, pembangunan sarana prasarana seperti ini jelas dapat
menimbulkan kerugian akibat dana sudah terserap padahal RKB tersebut tidak
efektif untuk digunakan karena tidak diisi dengan mebulair.
Fenomena ini tentu merupakan
cerminan kurang sinerginya perencanaan antara Dinas Pendidikan selaku kuasa
pengguna anggaran pengadaan mebulair dengan Dinas P2B selaku KPA proyek fisik
(bangunan).
Dalam penggodokan APBD, pemerintah
daerah seharusnya mampu menyesuaikan jumlah RKB dengan mebulair sehingga
penggunaan RKB tersebut efektif. Akibat RKB
sudah terbangun namun mebulair belum ada, menjadi persoalan hingga mengusik
rasa nyaman disekolah.
Dapat dikatakan, salah satu Dinas
yang memiliki rakyat adalah Dinas Pendidikan secra berkelompok dimasing-masing
sekolah. Otoritas memimpin yang diberi kepada Kepala sekolah seolah diberi
beban tanggung jawab agar RKB dapat digunakan walau dengan modal kebijakan
membuat program swadaya orangtua siswa.
Lewat tangan Ketua Komite sekolah,
kesepakatan untuk pembiayaan pengadaan mebulair selalu tercapai walau harus
mengorbankan perasaan orangtua siswa ekonomi lemah. Katakana saja kegiatan yang
sudah dianggarkan dalam RAPBS (RKA) yang pembiayaannya dari dana BOS tapi lagi-lagi jadi alasan alokasi dana
swadaya orangtua siswa yang sebahagian harus terseok-seok tapi harus
menyanggupi akal bulus Komite dengan Kepsek. Dampak lebih luas, pihak sekolah
kemudian terganggu dengan berbagai sorotan dari elemen masyarakat, misalnya
LSM, wartawan yang ingin mempertanyakan/konfirmasi system pembiayaan tersebut.
Salah satu sekolah yang diketahui
melakukan kebijakan seperti ini tidak luput dari kejaran LSM dan kuli tinta.
Kepada Koran ini Wakil Kepala sekolah SMPN 13 Bidang Kesiswaan mengaku risih dengan
kehadiran sebagian wartawan maupun LSM. “Terus terang, tapi maaf, saya tidak
mengatakan semua, rekan-rekan perspun sudah banyak yang menanyakan masalah ini.
Tapi saya pribadi tidak punya kewenangan memberi keterangan keluar birokrasi,”
ujarnya.
Salah satu bentuk akses kebijakan yang
nyerempet-nyerempet masalah hukum akibat perencanaan yang nampaknya kurang
sinergi di Pemkot Bekasi, hingga memberi peluang kepada Kepala sekolah
berkolaborasi dengan komite menguras kantong orangtua siswa. @ MA
Tidak ada komentar:
Posting Komentar