Laman

Jumat, 05 Oktober 2012

Janji Kampanye Ditagih Masyarakat, BUPATI DIMINTA TINJAU KINERJA PEJABAT DISDIK


Bekasi, SNP
Bupati Bekasi, Neneng Hasanah
      Salah satu janji kampanye Bupati Bekasi, Neneng Hasanah adalah merealisasikan pendidikan murah. Janji itu kini ditagih masyarakat Kabupaten Bekasi, khususnya bagi masyarakat tidak mampu. Namun janji itu dinilai masyarakat sulit terealisasi karena oknum pejabat yang membidangi pendidikan seolah membiarkan budaya pungutan menggila di tiap sekolah. Tidak hanya membiarkan pungutan atau kesalahan yang terjadi, oknum pejabat juga menjadikan sekolah menjadi lahan subur meraup rejeki melalui penjualan Lembar Kerja Siswa (LKS) di beberapa sekolah.
            Sejatinya sesuai Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2010 tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan, pemerintah telah membuat larangan pada pasal 181 yang menegaskan bahwa Pendidik dan tenaga kependidikan, baik perseorangan maupun kolektif, dilarang menjual buku pelajaran, bahan ajar, perlengkapan bahan ajar, pakaian seragam, atau bahan pakaian seragam di satuan pendidikan serta memungut biaya dalam memberikan bimbingan belajar atau les kepada peserta didik di satuan pendidikan. Tidak hanya itu, secara khusus pemerintah dalam hal ini Menteri Pendidikan dan Kebudayaan juga mengeluarkan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) Republik Indonesia Nomor 60 Tahun 2011 tentang larangan pungutan SD dan SMP seiring bertambahnya jumlah Bantuan Operasional Sekolah (BOS). Namun fakta di lapangan, masih bayak sekolah yang memberlakukan pungutan, khususnya untuk penjualan LKS.
            Sebagaimana diberitakan SNP edisi sebelumnya, masih ditemukan beberapa sekolah baik SD maupun SMP yang memperjualbelikan LKS dengan harga di luar batas kewajaran. Dugaan orientasi bisnis berupa penjualan LKS tersebut diduga terjadi di SMPN  1 Cibarusah. Sumber tepercaya media ini menyebutkan setiap siswa harus membayar Rp. 150.000 untuk 13 LKS/Mata Pelajaran.
Menurut informasi yang berhasil dihimpun media ini bahwa di lingkungan SMPN 1 Cibarusah ada sekitar 1.500 siswa dengan rincian SMPN 1 Cibarusah (sekolah induk) 1.200 (27 rombel), SMPN Terbuka (5 rombel) dan USB SMPN 5 Cibarusah (12 rombel). Sumber menambahkan bahwa penjualan LKS tersebut diwajibkan untuk semua siswa dari kelas VII sampai kelas IX.
Ketika kesesuaian harga LKS ini dikroscek kepada manajemen salah satu percetakan,  diketahui bahwa harga LKS berkisar antara Rp 4.000 hingga Rp. 5.000. Harga itu katanya masih akan mendapat diskon atau pengurangan apabila dibeli/dipesan dalam partai besar. Dengan demikian dapat dikalkulasi berapa keuntungan oknum di sekolah tersebut yang menjadikan sekolah sebagai tempat bisnis.
Selain penjualan LKS yang diduga melanggar ketentuan, legalitas atau keabsahan USB SMPN 5 Cibarusah juga dipertanyakan lembaga peduli pendidikan. Menurut Ketua LSM Lembaga Pemerhati Pendidikan dan Kesehatan Indonesia (LP2KI), Drs. Hikmat Siregar keberadaan Unit Sekolah Baru (USB) di lingkungan SMPN 1 Cibarusah patut dipertanyakan legalitasnya sesuai Keputusan Menteri Pendidikan Nasional No. 060/U/2002 Tentang Pedoman PendirianSekolah. “Apabila di lingkungan sekolah itu masih ada sekolah lain di luar SMPN Terbuka, patut dipertanyakan kepada Dinas Pendidikan Pemkab Bekasi tentang status dan SK yang mungkin telah dikeluarkan karena keberadaannya juga akan mempengaruhi besaran BOS dan pendanaan pendidikan lain yang akan diterima oleh sekolah dan menyangkut keuangan Negara,” katanya .
Terkait menjamurnya penjualan LKS dan adanya sikap pembiaran dari pejabat Disdik terhadap pelanggaran di sekolah, Hikmat berharap agar Bupati Bekasi tegas terhadap bawahannya, dan menempatkan pejabat yang mempunyai integritas serta dedikasi tinggi di Dinas tersebut. “Bupati harus meninjau kinerja pejabat Disdik, apabila dinilai tidak mampu menjalankan tugas berupa pengawasan sekolah agar segera diganti. Tindakan itu dirasa penting sebagai komitmen akan janji kampaye Bupati dulunya dan menciptakan pendidikan yang berkualitas di Kabupaten Bekasi,” tegasnya.
            Sekretaris Disdik Pemkab Bekasi, Rohim yang dikonfirmasi via selulernya terkait penjualan LKS dan keberadaan USB SMPN 5 Cibarusah mengatakan agar mempertanyakannya kepada Bagian Dikdas dan Pengendalian Mutu. “silahkan konpirmasi dl dg bidang dikdas bang pak anton suherman atau pak daroni kasi pengendalian mutu tks,” petikan pesan singkat Rohim. (Arios)

Sidak Anggota Dewan “Hanya Angin Lalu”, KESEMRAWUTAN DAN KEMACETAN MASIH HIASI TERMINAL BEKASI


Bekasi, SNP
Ronny Hermawan saat sidak
       Blum lama ini Ketua Komisi B Bidang Pembangunan, DPRD Kota Bekasi, Ronny Hermawan melakukan Sidak di Terminal Induk Kota Bekasi dan Pasar Baru Bekasi. Dalam sidak tersebut Ronny didampingi Kepala Dinas Perhubungan Kota Bekasi, Drs. Supandi Budiman,M.Si dan Kepala UPTD Terminal Induk Bekasi, Zeno Bachtiar, S.Si.T.
        Pada kesempatan tersebut Ronny menjelaskan bahwa pelaksanaan sidak atas informasi yang diterima dari masyarakat terkait kesemrawutan dan kemacetan di daerah terminal, khususnya di depan Pasar Baru Bekasi. “Saya dipilih oleh rakyat untuk menyampaikan aspirasi mereka,” katanya saat sidak belum lama ini.
        Anggota DPRD yang secara langsung turun ke lapangan, menemukan fakta sebenarnya di lokasi. Mulai dari antrian angkutan yang tidak tertata rapih dan banyaknya angkutan yang melawan arah/arus khususnya dari arah rumah sakit Bella menuju terminal. Pemandangan ini sontak membuat geram Ronny Hermawan dan meminta penjelasan dari Kepala Dinas Perhubungan dan Kepala Terminal Bekasi.
        Menurut Zeno saat itu, digunakannya jalur jalan yang menuju RS Bella karena situasi jalan yang relative kosong. Pandangan berbeda justru disampaikan Ronny, bahwa terjadinya kemacetan karena angkutan yang sembarangan parkir  khususnya sebelah pasar baru, bukan karena volume kendaraan. “Sudah,,sudah,, memang kamu paling pintar semuanya, sudah,” kata Ronny memotong pembicaraan Zeno yang mencoba memberikan alasan.
Angkutan melawan arus dan parkir sembarangan
        Setelah diadakan sidak tersebut oleh anggota dewan, hitungan hari kondisi terminal, khususnya penataan angkutan berubah. Bahkan kemacetan yang menjadi langganan terminal dan pasar baru bekasi dapat dihilangkan. Entah apa penyebabnya, ataukah kondisi seperti itu hanya dapat dilakukan untuk menjawab sidak, atau hanya sebagai bentuk formalitas, kondisi terminal pun saat ini kembali semrawut dan kemacetan di pintu keluar terminal serta pelanggaran arus/arah tetap terjadi.
        “Sudah hal yang lumrah seperti itu. Saat dilakukan sidak semua orang pada sibuk untuk melakukan penataan. Dibutuhkan kesadaran dari para sopir dan juga diharapkan kesabaran dari petugas terminal untuk melakukan penataan dan pengurangan kemacetan. Kalau bekerja hanya karena instruksi dari pimpinan atau anggota dewan, kondisi pasar dan terminal bekasi akan tetap seperti ini selamanya,” kata salah satu penumpang kepada SNP. (Arios)

Diduga Abaikan PP 17/2010, Disdik Diminta Kaji Efektivitas Bimbingan Online SMAN 9 Bekasi

Salah satu LKS yang digunakan siswa kelas XII
Bekasi, SNP
         Kepala Bidang Pendidikan Menengah (Kabid Dikmen) Dinas Pendidikan Pemerintah Kota Bekasi, Drs. H. Dedi Djunaedi, M.Pd kepada SNP mengatakan bahwa Dinas Pendidikan tidak memberikan persetujuan bahkan mengetahui program pembelajaran online yang akan diterapkan SMAN 9 Kota Bekasi. “Apakah Bidang Bina Program memberikan izin atau menyetujui bimbingan online itu?,” tanya Dedi kepada Agus Enap yang saat itu dipanggil ke ruang kerjanya. Jawaban serupa juga disampaikan oleh Agus, bahwa Bina program tidak mengetahuinya.
         Kepada SNP Kabid Dikmen mengatakan akan mempertanyakan hal tersebut kepada Kepala SMAN 9 Kota Bekasi, Drs.H.Sarmani Abbas, M.Pd. “Nanti saya akan tanya dulu sama yang bersangkutan, karena sekarang Kepala Sekolahnya lagi dipanggil inspektorat,” kata Dedi sembari meninggalkan ruangan dengan alasan akan mengikuti rapat. Akan tetapi hingga berita ini diturunkan, Dedi yang dikonfirmasi via selulernya tidak bersedia memberikan komentar lebih lanjut. “Tanya aja pa kadis aja bang,” petikan pesan singkatnya.
         Sebagaimana diberitakan pada edisi sebelumnya, SMAN 9 Kota Bekasi memungut Rp 600 ribu tiap siswa per tahun untuk pelaksanaan bimbingan atau pembelajaran online. Namun, hingga kini proses pembelajaran tersebut belum juga dilakukan, padahal sebagian besar siswa telah membayarkan kewajibannya.
         Selain pungutan tersebut, kebijakan lain terkait pembelian keperluan sekolah berupa buku dan LKS serta seragam sekolah melalui koperasi sekolah “Scolla Materna” juga menyisahkan keluhan bagi orangtua siswa seiring tingginya harga. Berdasarkan informasi pada Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) Tahun Pelajaran 2012/2013 bahwa untuk siswa baru (kelas X), pihak sekolah mewajibkan setiap siswa membeli seragam dan kelengkapannya melalui Koperasi berupa; Kameja Batik Lengan Pendek, Rp75.000, Kameja Batik Lengan Panjang Rp80.000, Pakaian Setelan Olah Raga seharga Rp.90.000, Setelan Busana Muslimah Rp125.000 dan Celana/ Rok Putih Panjang Rp.80.000, Topi Rp.12.000, serta Badge sebesar Rp.10.000 ditambah Sabuk  seharga Rp15.000.
Bukti pembelian siswa kelas X
         Sementara untuk kelengkapan buku pelajaran dan Lembar Kerja Siswa (LKS) setiap siswa juga diharuskan membeli melalui koperasi sekolah, dengan rincian; kelas X diwajibkan membeli 17 buku paket dengan harga komulatif Rp. 1.117.000 dan 17 LKS Rp. 170.000. Kelas XI jurusan IPA harus membeli 14 buku paket sebesar Rp 960.500 dan 14 LKS seharga Rp 140.000 dan jurusan IPS membeli 14 buku paket Rp. 913.000 dan 14 LKS seharga Rp. 140.000. Demikian juga dengan kelas XII. Untuk kelas XII jurusan IPA harus membeli 14 Buku Paket dengan total harga Rp. 916.000 ditambah 14 LKS sebesar Rp. 140.000, dan jurusan IPS kelas XII harus mengeluarkan uang Rp 891.000 membeli 14 buku paket serta Rp 140.000 untuk pembelian 14 LKS.
         Kepala SMAN 9 Bekasi, Drs.H.Sarmani Abbas, M.Pd yang dikonfirmasi SNP, Kamis (4/10) pekan lalu di ruang kerjanya mengatakan bahwa pembelajaran online belum juga dilakukan karena program tersebut baru berjalan tahun ini dan software dalam masa prose uji coba. “Tidak semua guru langsung tanggap dengan bahan yang disampaikan oleh instruktur, tergantung nantinya kompetensi guru dalam menyerap dan memberikan metode pembelajaran ini kepada anak didik,” kilahnya.
         Ketika ditanya perihal dasar hukum dan keterlibatan guru serta jumlah dana yang terkumpul, Abbas berkelit bahwa program tersebut atas sepengetahuan dinas. “Dinas sudah memberikan sein dan keterlibatan guru nantinya adalah membentuk komunikasi dengan orangtua siswa terkait kehadiran maupun nilai siswa. Dana yang terkumpul saat ini baru sekitar 20 persen, dan jumlah siswa yang diharuskan membayar hanya 1000 orang dengan membentuk subsidi silang bagi keluarga tak mampu,” katanya.  Ditambahkan salah satu Wakilnya, bahwa nantinya siswa dapat mengikuti ujian di rumah dengan membuka internet ataupun laptop. Secara online katanya nilai dan skor ujian siswa akan diketahui.
         Disinggung soalnya tingginya harga seragam dan buku paket serta LKS koperasi scolla materna, Abbas hanya mengatakan kalau masalah tersebut bisa dijelaskan Ketua Koperasi. “Koperasi hanya menawarkan kepada siswa, tidak mengharuskan. Harga LKS di sekolah yang lain hampir sama dengan SMAN 9 Bekasi,” jawabnya seolah menandakan tidak adanya kepastian atau kemandirian sekolah dan harus berpatokan kepada sekolah yang lain.
         Kesesuaian harga LKS dimaksud juga jauh berbeda dengan penuturan sumber SNP di salah satu percetakan. Menurut sumber, bahwa untuk harga LKS tersebut antara Rp 4.000 hingga Rp. 5.000. Harga itu pun akan mendapat diskon atau pengurangan apabila dipesan dalam partai besar. Kesesuaian harga Rp. 10.000 per LKS yang dijual melalui koperasi SMAN 9 kota Bekasi pun kini menjadi pertanyaan.
         Abbas juga membantah informasi yang menyebutkan bahwa pengadaan Pakaian Batik di sekolah tersebut sepenuhnya dikuasai oleh Kepala Sekolah. “Informasi tersebut sangat menyudutkan dan menyesatkan, karena dalam proses pengajuan dari pakian batik yang ditawarkan oleh distributor dengan pertimbangan kualitas bahan dan harga yang dipilih koperasi, bukan oleh Kepala Sekolah,” katanya.
         Disinggung mengenai larangan pada Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2010 tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan pendidikan pada pasal 181 yang menegaskan bahwa Pendidik dan tenaga kependidikan, baik perseorangan maupun kolektif, dilarang: a.             menjual buku pelajaran, bahan ajar, perlengkapan bahan ajar, pakaian seragam, atau bahan pakaian seragam di satuan pendidikan; b      memungut biaya dalam memberikan bimbingan belajar atau les kepada peserta didik di satuan pendidikan; dan d.          melakukan pungutan kepada peserta didik baik secara langsung maupun tidak langsung yang bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, Kepala SMAN 9 Bekasi berkilah kalau program yang dilakukan adalah inovasi pengembangan sekolah 2012/2013.
         Sementara itu Ketua Umum LSM Lembaga Pemerhati Pendidikan dan Kesehatan Indonesia (LP2KI), Hikmat S yang dimintai tanggapannya terkait pemberitaan ini mengharapkan Kejaksaan Negeri Kota Bekasi agar melakukan pengusutan lebih jauh, menyangkut harga buku, LKS maupun program bimbingan online tersebut. “Sudah jelas ditegaskan dalam PP 17 tahun 2010 tentang larangannya. Tahun lalu juga diberlakukan pungutan Rp 500 ribu per siswa dengan dalil bimbingan, sementara saat itu sudah dibayarkan SPP Rp.150 ribu, bahkan juga dipungut Rp 20 ribu untuk sampul ijazah dan legalisir. Apakah seperti itu yang dikatakan inovasi?,” ujarnya.
         Hikmat menambahkan, program tersebut hanya mengatasnamakan pengembangan sekolah karena kompetensi guru belum memungkinkan dan juga dengan kemampuan financial siswa. “Ada subsidi silang bagi keluarga tak mampu, tetapi di sisi lain siswa diharuskan membeli laptop atau computer untuk bisa mengikuti program tersebut dari rumah. Apakah pantas dikatakan subsidi silang seperti itu,” tambahnya.
         Lebih jauh dikatakan, alasan uji coba software merupakan gambaran ketidakmapanan perencanaan maupun ketidaksiapan sekolah, karena program tersebut menyangkut keuangan Negara yang dikumpulkan melalui sekolah dan sekecil apapun harus dipertanggungjawabkan. “Dinas Pendidikan Kota Bekasi harusnya mengkaji efektivitas program tersebut karena belum didukung kemampuan dan perencanaan yang baik,” tutupnya. (Arios)